Thursday, April 18, 2013

Ekstrem dan Berlawanan

Kini aku sedang ada di persimpangan jalan. Aku hanya berdiri di tengah tanpa berani mengambil langkah tegas untuk berjalan ke salah satu arah. Aku tidak tahu ada apa disana. Apa yang akan terjadi jika aku memilihnya pun tidak terbayang di otakku. Terkadang, saat sulit seperti ini aku mengandalkan hati. Kata orang-orang di luar sana, hati bisa menjawab apa yang tidak bisa dijawab oleh otak. Apakah betul?

Aku berdiam diri sejenak untuk menerka-nerka ada apa di kedua ujung sana. Aku melihat kondisi sekeliling jalur itu, kondisi jalan yang nantinya akan aku tapaki. Tiba-tiba aku merasakan hawa sejuk dan itu menarik kakiku untuk melangkah kesana. Tapi disisi lain, aku melihat cahaya terang dari arah berlawanan. Aku berpikir "Ah, cahaya itu silau sekali. Lebih baik aku memilih jalur yang berhawa sejuk saja."  Lalu aku memulai langkahku untuk menapaki jalan itu. Semakin jauh aku melangkah, hawa dingin semakin menjadi-jadi dan menusuk sampai ke tulang-tulangku. Hawa sejuk yang ringan kini menjadi kumpulan udara besar yang membawa kristal-kristal es. Badai salju. Gunung-gunung es tinggi menjulang, bola-bola salju besar bergulir, kristal-kristal es beterbangan. Aku terjebak di daerah yang memiliki titik beku sangat rendah. Tangan dan kakiku mulai beku, darah pun hampir tidak bisa mengalir. Aku segera berbalik arah dan berusaha untuk kembali ke persimpangan sekuat tenaga. Aku tahu aku akan mati jika aku tetap melanjutkan langkahku kesana. 

Akhirnya aku mencoba untuk menapaki jalan lain, jalan yang disinari oleh cahaya terang. Sesungguhnya aku tidak tahu darimana cahaya itu berasal. Semakin lama berjalan, aku semakin merasa haus. Sinar itu begitu terik, kadar air dalam tubuhku kian menurun. Tidak tahan aku untuk tetap bertahan menyusurinya, aku pun kembali ke persimpangan lagi.

Aku sudah merasakan dua keadaan yang sangat berbeda. Aku harus segera membuat keputusan, jika tidak, aku akan berdiam diri disini untuk waktu yang aku tidak tahu kapan akan berakhir atau bahkan sampai aku mati. Diam, diam, dan diam. Aku berpikir dengan sekuat tenaga sampai pada saat ada sebuah suara dari dalam dadaku yang membantu aku membuat keputusan. Ya, itu suara hatiku. Ia mengatakan bahwa aku harus memilih jalan yang bersinar itu, tapi pikiranku menginginkan jalan bersalju itu.

Singkat cerita, pikiranku mengalah. Perdebatan dari dalam diri dengan segala konsekuensi yang akan aku hadapi membuatku mengambil keputusan untuk memilih jalan yang bersinar itu. Mungkin ini akan menjadi hal yang sulit untuk meninggalkan apa yang aku inginkan daripada aku mengikuti keinginanku dan aku akan merelakan diriku untuk mati. Lebih baik aku merasa ada yang hilang sekarang daripada aku memilih apa yang akan membuatku hancur nantinya.