Saturday, March 26, 2011

Gelas Kuning Pastel

Percaya. Percaya merupakan suatu keyakinan. Keyakinan akan apa yang dianggap benar, apa yang dianggap ada. Kepercayaan itu tidak bisa dipaksakan. Jika suatu kepercayaan dipaksakan pasti akan ada sesuatu yang mengganjal di hati. Sesuatu yang ingin bebas, yang ingin berteriak, yang ingin semua orang tahu apa yang sebenarnya dirasakan atau diinginkan. Percaya adalah sesuatu yang mahal. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Percaya ada disetiap kehidupan kita. Sama seperti yang aku alami.

Tidak jauh-jauh dari yang namanya cinta. Ya, percaya dalam kehidupan cinta memang sangat berharga, lebih berharga dari ruby merah yang menjadi emas kawin seorang putri raja. Jika kita saling mecintai tapi tidak ada rasa percaya, untuk apa cinta itu?

...

Aku baru pulang dari sebuah pusat perbelanjaan bersama pacarku. Saat itu jarum jam menunjukan angka 10. Handphoneku juga sudah berdering 3 kali. Aku tahu, aku sudah harus segera pulang. Dan aku sudah bisa mengira-ngira, saat aku sampai di rumah pasti aku langsung dibacakan undang-undang oleh ibuku. Ya, aku berdarah biru. Undang-undang itu sudah biasa ku dengar. Lima buah buku undang-undang tebal sudah kuanggap seperti buku cerita bergambar. Setiap hari aku selalu mendengar cerita turun temurun itu. Sudah biasa. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan, apa yang tidak. Aku sudah hafal sampai-sampai aku bisa menuliskannya ulang.


“Saking pundi Dek?”

“Saking mall Bu.”

“Kaleh sinten?”

“Kaleh Robby, biasa.”

“Dinten iki nyapo wae? Sampun maem?”

“Sektas tumbas kado dienggo Robby, ning de'e mboten ngertos. Kula tumbasse meneng meneng. Wau kula nggolek'i maem disek. Mangkane kula wangsul telat.”

“Oh. Yo uwes nek koe arep turu.”

“Iya Bu.”


Ulang tahun Robby tinggal sebentar lagi. Maka aku tidak bisa menunda-nunda lagi untuk memberikannya hadiah. Aku tahu, sekarang dia sangat meninginkan gelas berwarna kuning pastel itu. Aku tidak tahu apa yang bagus dari gelas itu. Hanya sebuah gelas sederahana berwarna kuning pastel. Ya sudah, itu bukan urusanku, yang penting aku akan membelikan itu sebagai kado ulang tahunnya.

Hari berjalan begitu cepat dan tak terasa besok adalah hari ulang tahun Robby. Aku harus segera membungkus kadonya. “Kira-kira aku bungkus dengan kertas kado berwarna apa ya? Apa kertas kado bergambar?” pikirku dalam hati. Akhirnya aku putuskan untuk membungkus kado itu dengan kertas kado berwarna biru muda. Lalu aku percantik dengan sebuah pita berwarna putih dan juga ku tempel kertas ucapan dariku.

Esok pagi aku segera pergi ke rumahnya untuk memberi kejutan ulang tahunnya yang ke-21. Aku sengaja tidak mengucapkan selamat ulang tahun padanya pukul 12 tadi malam, biar dia bingung mencariku. Lalu tiba-tiba aku datang dan memberikannya hadiah. Tidak sabar aku melihat senyumannya saat dia tahu bahwa aku memberikan gelas yang selama ini dia inginkan sebagai hadiah ulang tahunnya. Dia pasti senang.

Tapi semua tidak seperti yang aku kira. Saat aku sampai di rumahnya, aku melihar sebuah mobil Jazz berwarna merah terparkir di depan rumahnya. “Itu mobil siapa?” tanyaku dalam hati. Aku sempat berpikiran negatif tapi tidak aku hiraukan. Dengan langkah tegap aku berjalan memasuki rumahnya. Dan……. Aku tidak menyangka. Dia sedang merayakan ulang tahunnya dengan seorang gadis. Dan lebih parahnya lagi gadis itu adalah Rene, sahabatku sendiri. Sahabatku tempat aku berbagi saat aku ada masalah dengan Robby tapi sekarang malah menusuku dari belakang. Tanpa sadar gelas yang dibungkus dengan kertas kado berwarna biru bermotif hati itu pun jatuh dari tanganku. Prang! Dengan terkejut mereka menegok ke arahku. Robby dan Rene diam seribu bahasa. Air mataku jatuh tanpa henti seperti hujan deras di luar. Ku ambil gelas yang jatuh itu, aku berlari ke balik ke mobilku sambil mengusap air mataku dengan bajuku. Aku mencari lem atau solatip untuk memperbaiki gelas itu dan akan ku beri. Ternyata aku menemukannya. Aku memperbaiki gelas itu dan segera memberinya kepada Robby. Sambil memberi gelas itu aku berkata, “Rob, ini hadiah ulang tahun dari aku. Semoga kamu suka ya. Maaf, gelasnya pecah, tapi aku sudah membetulkannya kok. Memang, retakannya tidak bisa hilang dan gelas itu tidak bisa dipakai minum karena aku takut kamu kenapa-napa karena lem gelas itu. Gelas ini bisa kamu jadikan pajangan. Kenangan terakhir dari aku. Ohiya Rob, gelas itu adalah kepercayaanku kepadamu. Kamu sudah menghancurkan semuanya, goresannya tidak bisa hilang Rob. Aku mungkin masih bisa percaya kepadamu, tapi tidak sepenuh dahulu. Maafkan aku ya.” Aku terdiam sebentar, “Ren, makasih ya selama ini sudah menjadi sahabat yang baik buat aku. Yang mendengarkan aku saat aku sedih. Terimakasih. Tapi maaf, aku sudah tidak bisa percaya kepadamu sepenuhnya seperti dahulu. Sama hal-nya yang terjadi dengan Robby dan gelas itu. Terimakasih ya Ren,” lanjutku. Aku hanya bisa tersernyum dengan berlinangan air mata. Aku segera meninggalkan rumah Robby dan kembali ke rumah. Selama di mobil aku hanya bisa diam seribu bahasa. Aku tidak habis pikir sahabatku melakukan ini kepadaku. Tapi ya sudahlah, tidak ada gunanya aku menangis. Dan dari kejadian ini aku mendapat pelajaran yang sangat berharga. Kepercayaan itu sangat berharga. Saat kau diberi kepercayaan oleh seseorang, berbahagialah, itu tandanya kamu dipercaya oleh orang itu. Kamu harus bisa menjaga kepercayaan itu seperti kamu menjaga benda atau orang yang paling kamu sayang. Tapi janganlah kamu sesekali mencobai kepercayaan itu. Saat kepercayaan itu jatuh dan hancur makanya semuanya hilang. Mungkin orang yang memberi kepercayaan masih bisa percaya padamu, tapi tidak sepenuhnya seperti dahulu. Dan kepercayaan itu sama seperti gelas yang aku kasih ke Robby. Gelas yang terjatuh bisa kita perbaiki lagi dengan menggunakan lem, tapi goresan itu masih tetap ada. Gelas itu bukanlah gelas baru yang masih mulus. “Gelas itu sekarang hanya menjadi sebuah pajangan, kenangan, sama seperti kepercayaanku padamu Rob, itu semua hanya tinggal kenangan yang bisa kau pajang dalam hatimu,” kataku dalam hati.