Tuesday, April 30, 2013

Hal Kecil yang Tidak Kecil

Mungkin bagi sebagian orang ini merupakan hal kecil. Tidak terlalu penting jika hal ini diambil atau diganggu oleh orang lain. 

Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menghasilkan sebuah karya. Seorang pelukis tidak dengan mudah menghasilkan maestronya begitu juga dengan seorang penyanyi yang ingin go international. Kemampuan pastinya terus dilatih dari hari ke hari. Segenap hati dan pikiran dikerahkan untuk menciptakan hasil yang lebih baik dari hari ke hari. Begitu juga dengan para penulis. Para penulis tidak dengan mudah mempublikasikan tulisannya. Terlebih dahulu ia memikirkan temanya, lalu alur cerita, kata-kata yang digunakan, dan bobot atau makna tulisan itu. Sebagai seorang seniman, seorang penulis (yang masih amatir), gue belajar dari hari ke hari untuk menjadi lebih baik, untuk mempublikasikan tulisan yang berbobot - walaupun tidak sebagus penulis yang sudah pro. Makna atau hal yang terkandung dalam tulisan saya pun tidak jauh-jauh dari kehidupan remaja zaman sekarang. 

Tapi apa yang terjadi jika hasil karya tersebut diambil secara gampang? Hanya satu kata. Sedih. Seperti yang sudah dituliskan di awal postingan, bagi sebagian (besar) orang mungkin statement diatas dianggap lebay. Jujur, itu sama rasanya seperti kalian udah bersusah payah berminggu-minggu menabung untuk membeli barang kesukaan kalian, lalu dengan gampangnya orang lain mengambil barang itu dan mengklaim bahwa barang itu miliknya. Nyesek kan? Sangat.

Di sisi lain akan muncul reaksi "Kan ga cuman lo doang yang mikir kaya gitu. Semua orang juga bisa mikir kaya gitu." Yap. Memang benar, tapi jika yang diambil merupakan sesuatu yang sama persis tanpa ada cacat........ Apa itu namanya?

Sebagai penutup, gue cuman mau bilang kalau seniman itu cuman minta satu hal, yaitu karyanya dihargai.





Sincerely, para penulis yang menulis dengan hati dan pikiran.

Thursday, April 18, 2013

Ekstrem dan Berlawanan

Kini aku sedang ada di persimpangan jalan. Aku hanya berdiri di tengah tanpa berani mengambil langkah tegas untuk berjalan ke salah satu arah. Aku tidak tahu ada apa disana. Apa yang akan terjadi jika aku memilihnya pun tidak terbayang di otakku. Terkadang, saat sulit seperti ini aku mengandalkan hati. Kata orang-orang di luar sana, hati bisa menjawab apa yang tidak bisa dijawab oleh otak. Apakah betul?

Aku berdiam diri sejenak untuk menerka-nerka ada apa di kedua ujung sana. Aku melihat kondisi sekeliling jalur itu, kondisi jalan yang nantinya akan aku tapaki. Tiba-tiba aku merasakan hawa sejuk dan itu menarik kakiku untuk melangkah kesana. Tapi disisi lain, aku melihat cahaya terang dari arah berlawanan. Aku berpikir "Ah, cahaya itu silau sekali. Lebih baik aku memilih jalur yang berhawa sejuk saja."  Lalu aku memulai langkahku untuk menapaki jalan itu. Semakin jauh aku melangkah, hawa dingin semakin menjadi-jadi dan menusuk sampai ke tulang-tulangku. Hawa sejuk yang ringan kini menjadi kumpulan udara besar yang membawa kristal-kristal es. Badai salju. Gunung-gunung es tinggi menjulang, bola-bola salju besar bergulir, kristal-kristal es beterbangan. Aku terjebak di daerah yang memiliki titik beku sangat rendah. Tangan dan kakiku mulai beku, darah pun hampir tidak bisa mengalir. Aku segera berbalik arah dan berusaha untuk kembali ke persimpangan sekuat tenaga. Aku tahu aku akan mati jika aku tetap melanjutkan langkahku kesana. 

Akhirnya aku mencoba untuk menapaki jalan lain, jalan yang disinari oleh cahaya terang. Sesungguhnya aku tidak tahu darimana cahaya itu berasal. Semakin lama berjalan, aku semakin merasa haus. Sinar itu begitu terik, kadar air dalam tubuhku kian menurun. Tidak tahan aku untuk tetap bertahan menyusurinya, aku pun kembali ke persimpangan lagi.

Aku sudah merasakan dua keadaan yang sangat berbeda. Aku harus segera membuat keputusan, jika tidak, aku akan berdiam diri disini untuk waktu yang aku tidak tahu kapan akan berakhir atau bahkan sampai aku mati. Diam, diam, dan diam. Aku berpikir dengan sekuat tenaga sampai pada saat ada sebuah suara dari dalam dadaku yang membantu aku membuat keputusan. Ya, itu suara hatiku. Ia mengatakan bahwa aku harus memilih jalan yang bersinar itu, tapi pikiranku menginginkan jalan bersalju itu.

Singkat cerita, pikiranku mengalah. Perdebatan dari dalam diri dengan segala konsekuensi yang akan aku hadapi membuatku mengambil keputusan untuk memilih jalan yang bersinar itu. Mungkin ini akan menjadi hal yang sulit untuk meninggalkan apa yang aku inginkan daripada aku mengikuti keinginanku dan aku akan merelakan diriku untuk mati. Lebih baik aku merasa ada yang hilang sekarang daripada aku memilih apa yang akan membuatku hancur nantinya.

Saturday, April 13, 2013

Tidak Sampai Lima Persen

Penempatan dalam sebuah ruangan itu sangat penting. Dari sudut pandang mana kita melihat, apakah itu perpaduan yang pas dengan lingkungannya atau tidak. Jika sebuah ruangan mengandung komposisi yang pas, tentu saja orang yang mengunjunginya enggan untuk berpindah. Tapi sering kali hal itu hilang dalam kehidupan ini.

Sering aku menemukan orang-orang yang menurutku tidak cocok berada di lingkungan itu. Mungkin bukan hanya aku saja, tapi kalian. Tidak jarang kita melihat seseorang yang menurut kita memiliki potensi di bidang yang lebih baik dari bidang yang dia geluti sekarang. Tapi mengapa orang itu malah berada di lingkungannya sekarang? Sebenarnya apa yang salah? Apakah memang sudah takdirnya dia berada disana? Apakah kita menyalahkan takdir?

Takdir tidak bisa diubah. Diibaratkan seperti laut yang memang asalnya memiliki rasa asin. Kita tidak bisa merubah walaupun kita menambahkan gula yang banyak. Gula itu hanyalah hiasan kecil dari takdir kita. Dan laut diibaratkan sebagai hidup. Hidupku. Hidup yang kita tidak tahu dimana, kapan, dan bagaimana akan berakhir. Hidup yang memiliki alur tersendiri. Hidup yang memiliki "kapal-kapal" yang memiliki tujuan. Hidup yang hanya bisa diam walaupun diterjang masalah. Hidup yang diam-diam menghanyutkan. Jadi, hidupku ini takdir? Memiliki alur cerita tersendiri yang aku tidak tahu kapan dan dimana akan berakhir. Tujuan hidup yang hanya tersirat di benang pikiran. Hidup tidak berontak saat ada masalah, itu jiwa. Hidup hanya diam, tapi dia tahu apa yang akan terjadi. Jiwa mengambil peran hidup untuk mendramatisir yang terjadi di dunia ini. Lalu, apakah ini ada hubungannya dengan kamu? Mungkin tidak. Tapi "iya" kata pikiranku.

Seharusnya kamu ada disini. Seharusnya kamu normal seperti anak lain. Seharusnya kamu berpikir seperti anak seusiamu. Seharusnya kamu memiliki hati seperti anak lain. Seharusnya aku tidak menulis ini. Sesungguhnya ini hatiku yang menulisnya.

Tunggu... Tulisan ini semakin ke bawah semakin tidak jelas alurnya, tapi akan memiliki akhir. Sudah kubilang sebelumnya, takdir itu seperti laut dan laut itu seperti hidup. Memiliki alur cerita sendiri dan tidak tahu dimana, kapan, dan bagaimana harus berakhir. Mungkinkah ini takdirku untuk menulis ini? Tulisan dengan secuil kisah hidup.

Monday, April 1, 2013

Tiga Ratus Enam Puluh Derajat

"Kasian banget sih dia di-PHP-in sama tuh cowo. Dasar jahat!"

"Eh eh eh, sekarang gue sama dia jadi kakak-adek ketemu gede loh. Jangan-jangan nanti gue sama dia bisa jadian deh hihihi."

"Sorry ya guys, gue lagi mau jalan ama pacar gue dulu nih. Ngumpul ama kalian kapan-kapan aja ya, masih ada waktu ini."

"Aduh, kapan ya gue punya pacar lagi? Udah satu bulan nihh malem minggu ama kucing gue. Hiks."

--

Beberapa kalimat di atas pasti sudah sering kalian dengar di sekeliling kalian. Mulai dari kisah si pelaku dan si korban PHP, kakak-adik beda orang tua, lebih mementingkan pacar daripada teman atau sahabat sendiri, dan seorang remaja galau nan labil yang tidak bisa hidup tanpa seorang pacar. Tapi menurut kami, tidak semua pelaku PHP itu bersalah, tidak ada yang namanya kakak-adik ketemu gede, hidup kalian tidak bergantung pada pacar kalian, dan kalian tidak akan mati kalau tidak punya pacar.

Pertama. Dalam kasus PHP, tidak semua kesalahan dititikberatkan pada si pelaku. Orang yang menjadi korban atau yang diberi harapan palsu harusnya memiliki inisiatif untuk meminta kejelasan. Jika dia tidak ada keinginan atau niatan untuk meminta kejelasan, dapat diartikan juga si korban ini nyaman dalam keadaannya sebagai korban harapan palsu. So, do not judge the giver as the most unrighteous.

Kedua. Hubungan antara laki-laki dan perempuan itu hanya ada dua, yaitu lovers or friends. Tidak ada yang namanya hubungan kakak-adik ketemu gede -yang pada akhirnya hanya akan berujung pada harapan palsu. Hubungan saru itu cuman bullshit, kiasan dua anak manusia yang tidak dapat membuat keputusan secara tegas. Statusnya sih teman tapi diperlakukan kaya pacar, tapi sekali lagi statusnya bukan pacar. Do you want to be in this indecisive relationship?

Ketiga. Cinta bisa merubah kelakuan seseorang. Yap, that's right buddy. Pasti kalian pernah lihat atau bahkan pernah merasakan berubahnya seseorang sejak dia punya pacar. Jarang ngobrol bareng sahabat-sahabatnya, jarang ngumpul bareng karena dia lebih mentingin pacarnya daripada sahabatnya. Please, hidup kalian itu tidak tergantung dengan keberadaan pacar kalian disamping kalian. Menurut kami, orang yang lebih mementingkan pacarnya daripada sahabat sendiri itu adalah orang yang tidak berpikir untuk jangka waktu panjang. Let's say, kalau dia putus sama pacarnya, pasti dia curhat sama sahabatnya. Gimana kalau dia putus sama sahabatnya karena pacarnya, terus saat dia putus sama pacarnya dia tidak tahu lagi mau cerita ke siapa. It's worst, isn't it? Orang tersebut juga harus memiliki me time dimana dia bisa spends her/his time with her/his family or friends. Dan yang perlu diingat jika seseorang putus dari pacarnya, dia bakal bilang "itu mantan pacar gue.", tapi jika seseorang bertengkar dengan temannya tidaklah mungkin dia bilang "itu mantan temen gue" tapi "itu temen gue, tapi ga deket.".

Keempat. Terakhir. Dunia ini luas, tidak selebar tangan pacar. Sudah menjadi pemandangan yang tidak langka bagi kita-kita pengguna social media kalau melihat status salah seorang teman yang sedih karena sedang tidak punya pacar. Ehem. Kami saja yang jomblo masih bisa hidup sampai sekarang, sampai menulis tulisan ini tanpa pacar disamping kami. Para jomblo yang mengatakan hal itu memiliki pemikiran hal yang sempit. Come on, kalian masih bisa melakukan banyak hal sama keluarga kalian, sahabat kalian, ataupun hal-hal yang kalian suka. Dan kami tegaskan, kalian masih bisa hidup tanpa pacar, tapi kalian tidak bisa hidup kalau tidak makan dan tidur. Itulah sebabnya kami sangat mencintai makan dan tidur.

Tulisan ini hanya kumpulan pendapat dua anak perempuan yang melihat suatu hal secara keseluruhan. Tiga ratus enam puluh derajat.





Thursday, March 28, 2013

Tali Tak Berujung

Post pertama dan terakhir di minggu terakhir bulan Maret.

Bulan ini menjadi bulan yang sibuk untuk aku, sebagai seorang pelajar, sampai-sampai menjadi tidak produktif untuk hampir satu bulan ini. Sibuk dalam menghadapi try out. Sibuk mengikuti pendalaman materi. Sibuk "menghantui" guru-guru. Dan sibuk memikirkan hati ini.

Sebenernya hati ini pun sudah sibuk sejak aku belum sesibuk ini. Sibuk mencari sebuah kebenaran. Sibuk mencari sebuah jalan keluar dari sebuah "gang buntu". Sibuk mencari sebuah kejelasan.

Sebuah tali. Tak terlihat. Hanya aku dan kamu. Kamu tidak mengerti kalau aku menggenggam tali ini begitu erat, tapi kamu? Hanya mengikatnya di batang pohon depan rumahmu. Kamu tidak tahu kalau aku menjaganya agar tidak lepas atau terputus, tapi kamu? Hanya tidur-tiduran santai di bawah pohon. Sampai pada akhirnya kamu menghampiriku dan berkata, "Untuk apa kamu memegangnya erat-erat? Menjaganya walaupun hari sedang terik. Sudah, lepaskan saja. Apa kamu tidak lihat kalau aku tidak memegangnya? Aku tadi kan sudah bilang kalau kamu bisa melepaskannya saja dan mebiarkan tergeletak di tanah ini. Untuk apa kamu terus berjuang? Aku juga sudah memilih untuk menggulung tali ini dan menaruhnya di dalam gudang. Aku akan mencari pergi sebentar, kamu diam saja di rumah ya." Aku hanya bisa menganggukan kepala dan kembali ke rumah. Sudah hampir setengah hari dan dia belum pulang. "Kemana saja dia? Jam segini belum kembali.", kataku dalam hati.

Akhirnya, lime menit kemudian dia kembali. Aku hanya bisa terdiam saat aku membukakan pintu. Dia kembali dengan seutas tali baru. Tali yang semua orang bisa melihatnya. Tali indah berwarna merah muda dan berhiaskan kerlap-kerlip. Sontak aku terdiam. Aku tidak mengerti untuk apa tali itu. Aku melihat dia memegang erat ujung talinya, dan aku mencari keberadaan dimana ujung satunya lagi. Setelah ku telusuri, ternyata ujung satunya lagi berakhir di sebuah ruangan. Samar-samar aku melihat ada seseorang yang memegang ujung itu. Siapa dia......

Diam....... Hanya itu yang bisa aku lakukan. Aku hanya bisa terdiam dan terus menatap ke seberang. Tanganku gemetar dan kakiku lemas. Hampir aku roboh karena kaki ini tidak bisa menopang berat tubuhku dan juga berat perasaan di dalamnya. Dunia seakan terhenti. Sekarang aku baru menyadari maksud perkataannya tadi siang. 

Aku memang bodoh. Aku tetap saja bertahan padahal tidak ada yang harus dipertahankan. Toh, dia tadi bilang kalau aku bisa membiarkannya tergeletak di tanah, tapi aku tetap bersih keras untuk menggenggam erat. Sekarang semuanya sudah jelas. Jelas sudah suruhan dia untuk membiarkan tali itu tergeletak di tanah.

Untuk apa aku mempertahankan tali yang tidak jelas itu? Untuk apa aku bertahan seorang diri? Sesungguhnya aku tetap bertahan untuk mencari sebuah kejelasan. Kejelasan bahwa aku akan berakhir tanpamu.