Monday, June 24, 2013

Keluar Dari Kotak

Tidak ada yang lebih membosankan daripada terjebak di tengah kemacetan ibukota. Waktu tersita untuk sesuatu yang tidak penting, emosi diri pun susah untuk ditahan. 

Kemarin sore, gue baru pulang dari kawasan Senayan. Sepanjang jalan dari Senayan ke depan Cawang sih tidak terlalu macet. Tapi, saat di dalam Cawang, puluhan mobil sudah terlihat mengantre. Daripada gue ikut terjebak, yang bisa mengakibatkan gue telat sampai rumah, gue lebih memilih jalan kaki. Memang ekstrem sih pilihan yang gue ambil, tapi daripada terus menunggu didalam mobil? Lebih baik gue cari tahu penyebabnya. 

Tidak lain dan tidak bukan penyebabnya karena antrean kendaraan bermotor yang ingin mengisi bahan bakar dikarenakan keesokan harinya harga sudah melonjak. Akhirnya setelah gue melewati pom bensin tersebut, gue melanjutkan perjalanan dengan menaiki kendaraan umum yang sudah bebas dari kemacetan. 

Di dalam kendaraan umum, sambil menikmati semilir angin, terlintas satu hal dipikiran gue. Ternyata pilihan yang gue ambil untuk berjalan kaki memberi sebuah pelajaran. 

Tuesday, June 11, 2013

Ganti Handphone

"Eh, gue mau ganti hp nih. Tapi... Sayang banget sama data-datanya yang udah ada..."

...

Mungkin kalian sering denger teman-teman kalian ngomong kaya gini. Bukan sering lagi kali ya, tapi setiap kali mau ganti mobile phone pasti ngomong kaya gini. Memang sih, kalau mengingat waktu yang udah kita habiskan untuk mengumpulkan data-data itu, pasti ada rasa tidak tega untuk menggantinya. Setelah gue pikir-pikir, sebenarnya peristiwa ini memiliki arti lain yang tersirat. Dan, mungkin banyak yang tidak menyadari arti tersirat ini.

Sunday, June 2, 2013

Terpendam

Di tengah kemacetan ibukota, sosok yang selalu mengantri untuk keluar dari pikranku masih tersendat. Bayangan serupa dengan wajah yang berada di bawah kerlip lampu disco. Mata bulat coklat dan bentuk wajah persis sama.

Ingatkanku bahwa sesungguhnya kamu telah tiada. Ingatkanku bahwa semua ini hanya imajinasi hati. Aku tahu kamu tidak akan muncul kembali, terpendam seiring dengan meredupnya lampu disco. Asap membawa bayangmu pergi bersama angin malam.

Saat aku buka mata ini esok hari, ku harap cahaya matahari membawa bayangmu kembali. Pantulan cahaya di cermin menghasilkan garis pelangi. Warna-warni pelangi kembali menghidupkan kamu yang sudah dibawa angin malam. Aku harap saat aku melihat garis itu, aku juga melihat sosok kamu disana.

Wajah yang selalu ada dipikiranku. Ia tidak pernah hilang. Ia hanya terpendam.

Tuesday, April 30, 2013

Hal Kecil yang Tidak Kecil

Mungkin bagi sebagian orang ini merupakan hal kecil. Tidak terlalu penting jika hal ini diambil atau diganggu oleh orang lain. 

Membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menghasilkan sebuah karya. Seorang pelukis tidak dengan mudah menghasilkan maestronya begitu juga dengan seorang penyanyi yang ingin go international. Kemampuan pastinya terus dilatih dari hari ke hari. Segenap hati dan pikiran dikerahkan untuk menciptakan hasil yang lebih baik dari hari ke hari. Begitu juga dengan para penulis. Para penulis tidak dengan mudah mempublikasikan tulisannya. Terlebih dahulu ia memikirkan temanya, lalu alur cerita, kata-kata yang digunakan, dan bobot atau makna tulisan itu. Sebagai seorang seniman, seorang penulis (yang masih amatir), gue belajar dari hari ke hari untuk menjadi lebih baik, untuk mempublikasikan tulisan yang berbobot - walaupun tidak sebagus penulis yang sudah pro. Makna atau hal yang terkandung dalam tulisan saya pun tidak jauh-jauh dari kehidupan remaja zaman sekarang. 

Tapi apa yang terjadi jika hasil karya tersebut diambil secara gampang? Hanya satu kata. Sedih. Seperti yang sudah dituliskan di awal postingan, bagi sebagian (besar) orang mungkin statement diatas dianggap lebay. Jujur, itu sama rasanya seperti kalian udah bersusah payah berminggu-minggu menabung untuk membeli barang kesukaan kalian, lalu dengan gampangnya orang lain mengambil barang itu dan mengklaim bahwa barang itu miliknya. Nyesek kan? Sangat.

Di sisi lain akan muncul reaksi "Kan ga cuman lo doang yang mikir kaya gitu. Semua orang juga bisa mikir kaya gitu." Yap. Memang benar, tapi jika yang diambil merupakan sesuatu yang sama persis tanpa ada cacat........ Apa itu namanya?

Sebagai penutup, gue cuman mau bilang kalau seniman itu cuman minta satu hal, yaitu karyanya dihargai.





Sincerely, para penulis yang menulis dengan hati dan pikiran.

Thursday, April 18, 2013

Ekstrem dan Berlawanan

Kini aku sedang ada di persimpangan jalan. Aku hanya berdiri di tengah tanpa berani mengambil langkah tegas untuk berjalan ke salah satu arah. Aku tidak tahu ada apa disana. Apa yang akan terjadi jika aku memilihnya pun tidak terbayang di otakku. Terkadang, saat sulit seperti ini aku mengandalkan hati. Kata orang-orang di luar sana, hati bisa menjawab apa yang tidak bisa dijawab oleh otak. Apakah betul?

Aku berdiam diri sejenak untuk menerka-nerka ada apa di kedua ujung sana. Aku melihat kondisi sekeliling jalur itu, kondisi jalan yang nantinya akan aku tapaki. Tiba-tiba aku merasakan hawa sejuk dan itu menarik kakiku untuk melangkah kesana. Tapi disisi lain, aku melihat cahaya terang dari arah berlawanan. Aku berpikir "Ah, cahaya itu silau sekali. Lebih baik aku memilih jalur yang berhawa sejuk saja."  Lalu aku memulai langkahku untuk menapaki jalan itu. Semakin jauh aku melangkah, hawa dingin semakin menjadi-jadi dan menusuk sampai ke tulang-tulangku. Hawa sejuk yang ringan kini menjadi kumpulan udara besar yang membawa kristal-kristal es. Badai salju. Gunung-gunung es tinggi menjulang, bola-bola salju besar bergulir, kristal-kristal es beterbangan. Aku terjebak di daerah yang memiliki titik beku sangat rendah. Tangan dan kakiku mulai beku, darah pun hampir tidak bisa mengalir. Aku segera berbalik arah dan berusaha untuk kembali ke persimpangan sekuat tenaga. Aku tahu aku akan mati jika aku tetap melanjutkan langkahku kesana. 

Akhirnya aku mencoba untuk menapaki jalan lain, jalan yang disinari oleh cahaya terang. Sesungguhnya aku tidak tahu darimana cahaya itu berasal. Semakin lama berjalan, aku semakin merasa haus. Sinar itu begitu terik, kadar air dalam tubuhku kian menurun. Tidak tahan aku untuk tetap bertahan menyusurinya, aku pun kembali ke persimpangan lagi.

Aku sudah merasakan dua keadaan yang sangat berbeda. Aku harus segera membuat keputusan, jika tidak, aku akan berdiam diri disini untuk waktu yang aku tidak tahu kapan akan berakhir atau bahkan sampai aku mati. Diam, diam, dan diam. Aku berpikir dengan sekuat tenaga sampai pada saat ada sebuah suara dari dalam dadaku yang membantu aku membuat keputusan. Ya, itu suara hatiku. Ia mengatakan bahwa aku harus memilih jalan yang bersinar itu, tapi pikiranku menginginkan jalan bersalju itu.

Singkat cerita, pikiranku mengalah. Perdebatan dari dalam diri dengan segala konsekuensi yang akan aku hadapi membuatku mengambil keputusan untuk memilih jalan yang bersinar itu. Mungkin ini akan menjadi hal yang sulit untuk meninggalkan apa yang aku inginkan daripada aku mengikuti keinginanku dan aku akan merelakan diriku untuk mati. Lebih baik aku merasa ada yang hilang sekarang daripada aku memilih apa yang akan membuatku hancur nantinya.